Jalan Buntu Tindak Kekerasan Fisik Di Pesantren

0
171

Kiprah pondok pesantren yang selama ini melekat baik dan positif di benak masyarakat Indonesia, telah berangsur menurun karena maraknya kasus kekerasan fisik pada anak. Kekerasan seperti pemukulan dan pengeroyokan di lingkungan pesantren dengan motif pendisiplinan tubuh, dianggap sebagai perlakuan yang normal dan terus meningkat bahkan tidak jarang melampaui batas (KEMENPPPA 2023). Perlu ditegaskan bahwa kasus serupa juga terjadi di berbagai pergaulan sosial, tidak hanya di pesantren, sistem pendidikan pesantren berperan penting membentuk pribadi bijak dan berpengetahuan (Dhofier, 2011: 41).

Oleh sebab itu kekerasan dalam sistem mana pun tidak dapat diabaikan begitu saja dan mendesak dikaji secara cermat. Sejauh ini, santri juga menjadi korban dari stereotipe masyarakat yang sangat menekankan hierarki kelas sosial. Kultur senioritas di pesantren yang memperlakukan santri junior objek eksploitasi kerap kali menyebabkan tindak kekerasan (Warsidi 2022; Indonesia 2023). Dari sisi lain, konflik sosial menggunakan kekerasan muncul dari hal sepele tetapi menimbulkan peristiwa yang mencederai kemanusiaan. Seperti komunitas sosial lainnya, bercanda dengan sesama tidak mungkin lepas dari keseharian santri, tetapi sangat disayangkan senda gurau di luar batas akhirnya berujung pada maut (Fajarlie 2023).

Dua motif kekerasan di atas cukup menegaskan adanya pengabaian kemaslahatan sosial santri. Padahal lingkungan sosial pesantren dapat dikatakan miniatur realitas sosial dan simulasi bermasyarakat. Pada saat bersamaan gejolak beragama radikal ekstrem hari ini semakin menancapkan pengaruhnya di masyarakat dengan ragam bentuk dan cara (Mustaqim 2022). Dua hal ini saling berkaitan walaupun memiliki konteks berbeda dan berdampak destruktif bagi wacana moderasi beragama. Bisa dibayangkan, keruntuhan moderasi beragama diawali ketika masyarakat mengaitkan kekerasan fisik di pesantren dengan wacana maupun aksi Islamis radikal ekstrem.

Tentu saja, langkah tangkas membungkam kekerasan di pesantren dapat ditempuh melalui musyawarah membentuk regulasi. Sudah kehendak zaman ini, hukuman fisik dianggap tidak efektif untuk menyadarkan individu yang berbuat pelanggaran. Regulasi pesantren yang diharapkan tidak mengabaikan pemenuhan hak dasar anak di antaranya: hak hidup, tumbuh kembang, partisipasi, dan perlindungan (Anissa, Agus, and Muhammad 2015: 47). Justru penekanan pada kesejahteran sosial santri diupayakan untuk mengembangkan kecerdasan dan potensi positif santri.

Tentu, pencegahan tindak kekerasan tidak hanya digagas melalui regulasi pesantren, di sini penulis melihat dua aspek penting dan strategis mendepak kekerasan yaitu: solidaritas santri dan teladan kiai. Pertama, setiap pengalaman santri terpaut dengan fase “beradaptasi” dengan segala kondisi yang ada di pesantren. Sikap adaptif ini memungkinkan tumbuh rasa soliditas organik antara santri. Dengan begitu, kesadaran mengenai perbedaan kultur, bahasa, sikap dan yang lain menjadi kebutuhan inheren dalam keseharian santri.

Adanya kesadaran “berbeda”, memilih hidup bersama dalam perbedaan adalah satu-satunya pilihan. Berbeda dicukupkan pada latar sosial namun tujuan dan maksud tidak mungkin berbeda. Belajar dan mengkaji secara mendalam ilmu agama memang hal yang utama, kendati demikian salih secara sosial juga tidak kalah utama dan penting (Shihab, V III 2005: 9-14). Dalam hal ini solidaritas begitu pun soliditas santri termanifestasi dalam sikap saling tolong menolong untuk kemaslahatan positif, bukan sebaliknya.

Kedua, ketika membincang otoritas beragama umat Islam, kemunculan sosok kiai tertentu seperti tidak dapat dihindari dalam pembahasan. Mengapa kiai sangat penting? Secara penyebutan, istilah kiai adalah konstruksi sosial yang hendak menjelaskan seseorang berpengetahuan, kesalihan moral dan spiritual, jumlah murid yang dimiliki, fungsi dan pengaruh sosial (Steenbrink, 1994: 109). Kedudukan kiai dalam masyarakat muslim begitu penting tidak hanya dilihat dari ilmu dan fungsi sosial saja, tetapi gerak sejarah pengamalan ajaran Islam dengan baik.

Dalam konteks pesantren, kiai menjadi teladan santri. Transmisi keteladanan ini biasanya dilakukan secara langsung dalam model pengajian yang variatif adakalanya: ngaji sorogan, bandongan atau wetonan, halaqoh, tahfidz, dan bahtsul masa’il (Faridah, 2019: 85). Kegiatan pesantren yang bersifat pengajaran di kelas turut memahamkan santri pada pengetahuan teks-teks keagamaan, sementara peneladanan akhlak dan pemikiran kiai adalah sesuatu yang paling praktis didapatkan santri namun tidak mudah dalam penerapannya.

Kebutuhan pesantren hari ini tidak lain yaitu menciptakan lingkungan yang aman dan ramah anak. Tindak kekerasan, sudah seharusnya diakhiri dengan melakukan deregulasi aturan yang melegalkan kekerasan fisik atau yang masih memberi ruang beraksi untuk pelaku. Menurut hemat penulis pesantren bukanlah tempat penganiayaan, melegalkan perbuatan anarkis dan brutal menggunakan motif penghukuman dan penghakiman. Tetapi sebaliknya pendidikan Islam yang telah berhasil melahirkan para tokoh bangsa, seseorang yang berilmu tinggi dan berkhidmad kepada masyarakat sepanjang hayat.

oleh : Imam Muhajir Dwi Putra, S.Ag. (Mahasiswa Magister Ilmu al-Quran dan Tafsrir UIN Sunan Kalijaga)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here